Sabtu, 15 Januari 2011

Nasib Pengamen Jalanan dan Raperda Tibum



Setiap orang atau badan dilarang:
a. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap       mobil;
b. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil;
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada  pengemis, pengamen dan pengelap mobil
Rancangan Perda Tibum no. 8 tahun 2007, pasal 40

            Mi (21thn), perempuan pengamen yang biasa mangkal di lampu merah Klender, agaknya tidak tahu keberadan pasal di atas. Begitu pula dengan remaja yang duduk di jalan, Rn (23thn), ia hanya mengernyitkan dahi untuk mengungkapkan ketidaktahuannya. Ketika ditanya bagaimana mereka akan hidup bila perda itu disahkan yang berimplikasi pada pelarangan mengamen, mereka berdua hanya pasrah. Tidak tahu mata pencaharian apa lagi yang mungkin dikerjakan. Jika perda Tibum (Ketertiban Umum) sungguh disahkan bagaimana nasib pengamen jalanan itu? Penerapan Perda Tibum justru memaksa mereka semakin tidak berdaya dan menderita. Tulisan ini berupaya menelisik kemungkinan nasib pengamen jika Perda Tibum disahkan.

Ketidakberdayaan Pengamen
            Bagi Mi pekerjaan sebagai pengamen hanyalah usaha yang cukup untuk memenuhi kebutuhan perutnya dan bayinya. Biaya hidup yang cukup tinggi amat berdampak bagi perempuan seperti dirinya. Ia harus memperhitungkan biaya perawatan bayi yang baru lahir dan biaya hidupnya. Untuk sekali makan di warteg saja, ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 4.000. Sementara itu, mengamen di bis-bis dari pukul 11.00 pagi hingga pukul 18.00 hanya mampu menghasilkan uang rata-rata Rp 10.000/hari. Apakah dengan Rp 10.000/hari ia bisa mencukupi dirinya dan anaknya?
            Memang tidak seberat tanggungan Mi, penghasilan Rn dari mengamen selama sehari bisa mencapai Rp 15.000. Bila sekali makan ia mengeluarkan uang sekitar Rp 4.000, maka kalau 3 kali makan berarti ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 12.000. Karena mahalnya biaya makan, menurutnya lebih enak ia mengutang di warteg sehingga memudahkannya untuk mengalokasikan biaya lain-lain. Untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dirinya yang masih single, ia sangat mengandalkan kerja sebagai pengamen.
            Dari segi pendidikan, Mi dan Rn adalah lulusan SD. Kita bisa lihat bagaimana nasib seorang lulusan SD di zaman sekarang. Karena hanya lulusan SD, mereka terpaksa memilih pengamen sebagai satu-satunya pekerjaan. Ketika ditanya bagaimana nasibnya seandainya pengamen seterusnya dilarang, Mi hanya tersenyum kecut, seraya berkata, “Waduh nggak tahu deh Mas? Terus, anak saya mau dikasih makan apa?“            
            Sementara itu, ketika diajak diskusi soal nasibnya berkaitan dengan pelarangan mengamen, dengan memelas Rn bertanya, “Apalagi kerjaan? Jadi pemulung aqua gelas bisa tidak, Mas?” Mendengar jawaban yang sama yaitu bahwa pemulung akan sama nasibnya dengan pengamen jalanan, ia termenung sebentar. Kemudian ia berkata lagi, “Mungkin jadi pencopet kali, Mas?” Betapa mengerikannya bayangan realitas seperti itu!
            Dalam etika pergaulan jalanan, kekerasan sudah menjadi bagian yang biasa dari hidup sehari-hari mereka. Rn berkisah bahwa ia dan kawannya pernah digaruk oleh tramtib. Peristiwa itu terjadi pada pagi hari ketika ia sedang tidur. Ia dipaksa ikut dengan petugas tramtib sebab menurutnya jika tidak ia akan dipukuli oleh petugas. Beberapa temannya yang tidak mau ikut, langsung diseret dan dipukuli.
            Selain itu, miras (alkohol), obat-obatan dan seks bebas tampak menjadi way of life mereka. Ek (23), seorang pengamen jalanan mengaku bahwa dirinya pernah terkena Infeksi Menular Seksual (IMS). Pergaulan seks bebas mengakibatkan dirinya mengidap kencing nanah. Menurut Ek, di lingkungan pengamen banyak pengamen yang “sering jajan” dan terkena IMS. Bahkan setelah terkena penyakit itu banyak dari mereka yang mengobati sendiri.
            Kisah Mi, Rn maupun Ek mungkin merupakan miniatur dari kisah besar pengamen-pengamanen jalanan yang ada di jalan-jalan Jakarta. Secara ekonomi, penghasilan mereka tidak mencukupi dirinya maupun keluarga. Dari tingkat pendidikannya, keterbatasan pendidikan berakibat pada lemahnya cara berpikir mereka melihat realitas hidupnya. Dari segi kesehatan, mereka kurang memahami pentingnya kesehatan secara umum dan kespro secara khusus. Terpuruknya mereka pada sumber-sumber ekonomi, pendidikan dan kesehatan menjadikan mereka sebagai “kaum yang tidak berdaya”, the powerless.

Kesadaran dan Mental Kaum Tertindas
            Mereka, para pengamen jalanan yang tidak berdaya umumnya terpuruk dengan kebutuhan dasar. Perhatian mereka hanya terpusat pada bagaimana memenuhi perut hari ini. Kesadaran mereka adalah kesadaran biologis, kesadaran yang dalam terminologi filsafat Freire adalah kesadaran transitif naif. Kesadaran transitif naif ditandai oleh sikap yang terfokus pada hal-hal yang ganjil tanpa mau menyelidiki realitas yang menyebabkan mereka tertindas. Hal itu disebabkan olen cara pandang mereka yang masih bersifat magis (Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, 16-17).
            Perkembangan mental mereka tampak mengalami stagnasi. Sejenak mereka mungkin melihat celah bagi peluang pekerjaan mereka. Sejenak mereka justru tenggelam dalam pemenuhan kebutuhan biologis semata. Dalam terminologi filsafat Whitehead, mental para pengamen itu berada pada tingkatan romance, yaitu keadaan mental yang masih setengah tersingkap dan setengah tenggelam dalam melihat ketelanjangan realitasnya tanpa mengeksplorasi keterkaitannya (The Aims of Education, 29-30).
            Dalam ketidakberdayaan seperti itu, kesadaran kritis untuk menelaah realitas yang menindas tak mungkin lahir. Dalam keadaan tak berdaya multidimensi itu, Mi tidak mampu memikirkan hubungan sebab akibat dari penindasan yang dialaminya. Ia juga tidak mungkin menganalisis situasi sosial yang membuat dirinya menjadi miskin.
            Sedangkan Rn yang pesimis tampaknya tidak sadar bahwa sikap putus asanya adalah sikap magis yang tunduk pada alam. Karena frustrasi pada penggarukan tramtib yang terus menerus, ia sampai pada kesimpulan untuk menerima keadaan itu. “Apalagi kerjaan?” adalah bentuk pertanyaan yang menyerah pada keadaan. Ia tidak sanggup percaya pada diri sendiri, melainkan menyerah kepada kondisi sosialnya.    Begitu pula dengan Ek, ia tidak menyadari bahwa penyakit IMS yang dideritanya adalah akibat dari tenggelamnya mentalitas kaum tertindas karena tidak mampu mengeksplorasi keterkaitan penyakit itu dengan realitas sosialnya. Sejenak pemahaman untuk mengobati dirinya timbul, maka ia memberanikan diri untuk berobat, meskipun untuk mengobati sendiri penyakitnya. Sejenak ia pun tenggelam karena tidak tahu kaitan hubungan seks bebas bisa berakibat pada penyakit IMS. Selain itu, bagaimana ia bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi (kespro) jika di daerahnya minim layanan kespro. Kalaupun ada, layanan itu relatif cukup mahal bagi mereka.    
            Dalam keadaan seperti itu, setiap persinggungan pengamen jalanan dengan realitas sosial berdampak amat sensitif bagi mereka. Tidak jarang hubungan sosial di antara pengamen jalanan diwarnai kecemburuan dan iri hati karena masalah mengamen. Ada pula komunitas yang hendak mengorganisasikan mereka dalam payung pengamen jalanan, tetapi hal itu ditanggapi dengan kesadaran materialis. Begitu pula pemberdayaan kesehatan reproduksi yang sedang dirintis oleh suatu LSM HIV-AIDS dilihat sebagai proyek yang bisa mendatangkan uang untuk mereka. Pengorganisasian dan pemberdayaan dipandang mereka sebagai celah keuntungan belaka.
            Cara pandang seperti itu bukanlah kesalahan mereka. Sistem sosial yang menindas yang mengakibatkan cara pandang seperti itu ada dan menguat. Mereka adalah korban dari sistem yang menindas. Sebagai korban mereka tidak mampu memperkuat atau memberdayakan diri mereka. Siapa lagi yang bisa memahami mereka kalau bukan kita kaum revolusioner yang mampu melihat persoalan pengamen jalanan sebagai persoalan humanisasi?
            Peran kaum revolusioner diperlukan untuk mendampingi pertumbuhan kesadaran kritis mereka. Itu hanya mungkin distimulus lewat dialog dan bukan pemaksaan (Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, 105-113). Karena itu, pelarangan untuk mengamen setali tiga uang dengan pembunuhan kesadaran kaum pengamen. Di tengah lemahnya kesadaran para pengamen mungkinkah pasal yang menindas pengamen disahkan, dengan begitu dipraktikkan pada mereka? Pertanyaan itu seharusnya menjadi refleksi para pembuat kebijakan dalam Raperda Tibum!
  
Alistair Steven Simbolon
Tulisan ini adalah refleksi pribadi penulis saat bekerja bersama di PKBI DKI Jakarta
pada 2008

Pendidikan Seks Sekarang Juga!

Kini, perilaku seks yang heboh telah merambah ke dunia kita & remaja. Lihat saja. masyarakat pebisnis kita umumnya menjual seks lewat medianya, internet dan vcd porno. Kita pun dengan mudah mengunduh VCD porno di glodok. Entah dari mana, remaja kita mudah sekali mendapatkan media pornografi. Perhatikan perilaku seks remaja sekarang, masturbasi dan seks bebas tampaknya bukan berita baru lagi. Betapa mirisnya gambaran perilaku remaja kita sekarang! Mengapa begitu?

Terkontaminasi Massa yang Porno
Siang itu matahari enggan menampakkan sinarnya yang panas. Dibandingkan sinar itu, mungkin lebih berani Ap (16 tahun), Am (16 tahun), A (15 tahun) remaja-remaja yang nongkrong, menampakkan dirinya di pelataran mal di Jakarta Timur.

Tak jelas mengapa mereka di sana, nongkrong, main atau belanja. Yang jelas orang tua mereka tidak tahu jika mereka sering mangkal di sana. Satu di antara mereka, A (15 tahun) masih memakai seragam putih biru. Sementara Ap (16 tahun) dan Am(16 tahun) berkaos oblong mengaku sudah tidak sekolah, karena tidak ada uang untuk biaya sekolah.

Ketika diajak ngobrol tentang seks, mereka agak malu-malu seraya menyunggingkan sesekali senyuman. Obrolan pertama adalah film porno. Tentang itu, mereka tampaknya tidak buta film porno. Umumnya, mereka mulai nonton film porno sejak SD. Am mengaku nonton film porno sejak SD kelas V. Sedangkan Ap dan A nonton film porno sejak SMP kelas 1 dan kelas 3.

Mereka mengakses film tersebut di warung-warung internet maupun lewat pergaulan teman sebayanya. A yang tampaknya fasih atas situs-situs porno itu mengaku bahwa ia tahu banyak situs porno dari temannya satu sekolah. Sementara itu, menurut Am, ia sering nonton film porno (kaset VCD) dari pergaulan teman di sekolahnya dulu.

Obrolan pun berlanjut, sekarang mengarah pada tempat menonton film. Tampaknya rumah merupakan tempat yang empuk untuk nonton film porno. Itu yang dialami oleh Am dan A. Am terpancing untuk bercerita bahwa ia pernah nonton film porno dengan pacarnya di rumah temannya yang sepi. Itu juga diiyakan oleh A. Ia nonton film porno bersama temannya di rumah tantenya, saat tante tidak ada di rumah. Betapa ruang (rumah kosong) dan peluang (tidak ada orang menjadi satu pelepas hasrat seks mereka.

Obrolan kedua adalah masturbasi atau dalam bahasa gaul, onani. A bercerita bahwa ia melakukan masturbasi sewaktu kelas 2 SMP. Itu dilakukannya sehabis nonton film porno. Yang hebohnya adalah pengalaman Am yang melihat temannya melakukan masturbasi di sekolah. Saat itu Am, hendak buang air kecil di kamar mandi sekolah, seorang temannya menunjukkan kepadanya bagaimana melakukan masturbasi, sambil memegang penisnya.

Di pelataran mal yang lain, D (19 tahun), seorang remaja duduk santai. Raut wajahnya yang sekali tersenyum atau tertawa, menyiratkan bahwa ia remaja yang asyik diajak ngobrol. Sebagai remaja yang baru lulus SMU, tampaknya perilaku D sudah selangkah lebih jauh dari remaja yang lain. Ia bercerita bahwa petualangan seksnya dimulai di Cibitung. Tak hanya di sana, di dekat rumahnya, petualangan seksnya kian jadi heboh. Saat itu, karena pengaruh miras, ia bersama temannya yang sedang mabuk, melakukan hubungan seks bergantian di sebuah taman di Jakarta. Akibat pun ditanggungya, ia terkena penyakit menular.

Cerita pengalaman seks A, Ap, Am dan D bisa jadi adalah gambaran pengalaman remaja kita saat ini. Pengakuan A, Ap, Am dan D atas perkembangan seksualitas mereka merupakan jeratan atas akses informasi yang liar tentang seks. Keluarga mereka tampak acuh untuk urusan pendidikan seks. Wajar saja jika mereka mengaksesnya lewat kawan sebayanya. Artinya, remaja kita sekarang sedang terancam pengaruh massa. Bagaimana massa mempengaruhi mereka?

Massa itu cair, lekang mengikuti ruangnya. Karena cair, maka tidak ada kekangan di dalamnya. Semua bebas melakukan apa saja bahkan yang secara etis buruk pun boleh dilakukan. Karena itu, nonton film porno pun itu tidak dilarang. Remaja  bebas mengunduh situs porno.

Lemahnya pengaruh keluarga membuat remaja dibentuk massa. Padahal bentukan massa itu vulgar, bebas, kata Plato, filsuf Yunani kuno. Karena vulgar, tidak ada yang subtil di dalamnya, alias porno! Massa seperti itu memperbolehkan setiap orang mengejar hasratnya. Semua hasrat manusia harus dikejar karena itu baik. Apapun yang menghalangi manusia untuk mengejar hasratnya adalah buruk. Baik dan buruk di sini menjadi relatif. Jadi sandaran etisnya tidak kuat, menekankan dimensi manusia semata.

Karena itu, Plato mengingatkan pengaruh massa seperti itu perlu dijauhi. Tidak mungkin massa yang porno dan jahat itu mampu mendidik kaum muda. Tidak ada moralitas yang bisa dipelajari dari massa. Hanya moralitas yang bersandar pada supernatural, yang ilahi yang mampu mengarahkan manusia pada kebijaksanaan (SimoneWeil, Intimations of Christianity Among The Ancient Greek).

Pendidikan keluarga, sekolah atau masyarakat?
Kalau massa bukanlah ruang yang tepat untuk berbicara tentang seks pada remaja kita, lalu di mana? Di keluarga? Keluarga-keluarga kita tampaknya tabu untuk berbicara tentang seks dengan anak atau remaja? Seringkali remaja enggan berbicara tentang seks dengan orang tua mereka sendiri. Sudah bukan rahasia umum, jika di keluarga remaja direpresi saat berbicara tentang seks.

Di sekolah tidak jauh beda. Perhatikan saja di sekolah, praktik penyebaran cerita, majalah & video porno menyebar diam-diam bagaikan pencuri yang mengendap-endap masuk mencuri. Sudahkah pendidikan seks dimasukkan dalam kurikulum? Apakah pendidikan sek diajarkan di sekolah? Jika sekolah peka terhadap hal itu, maka setidaknya remaja yang bersekolah punya tempat bercerita soal seksualitas.

Apalagi dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Lihat saja, warnet-warnet memudahkan remaja kita untuk mengunduh cerita jorok ataupun video porno. Teman sebaya kini telah dibentuk oleh massa. Tontonan, cerita, pergaulan di masyarakat tampaknya kini lepas kontrol. Sekali lagi, begitulah sifat massa: cair, bebas & lepas, maka dengan mudah cerita, tontonan dan perilaku seks dilepas juga.

Dengan begitu, sebenarnya tidak ada ruang lagi yang bebas dari pengaruh dorongan seks yang mencari setiap ruang pemuasannya. Di sekolah kisah-kisah seks setali tiga uang dengan keadaan di keluarga alias tabu. Sementara di masyarakat, seks agaknya diumbar, dilepaskan karena tidak ada lagi kontrol dari masyarakat yang berciri konsumtif itu. Lalu bagaimana menemukan jalan keluar dari kepungan ketakutan keluarga & sekolah atau dari jeratan massa?

Cerita dari anak dan remaja tampaknya menjadi alat ampuh untuk mengenali dirinya. Begitu pula cerita-cerita yang dianggap seks yang dianggap tabu. Remote control untuk itu tidak seharusnya dimandatkan pada sekolah, tetapi pada keluarga sebagai pilar utama pembentuk kepribadian remaja kita. Yang tak kalah penting, sekolah seharusnya mengambil peranan dalam pendidikan seks anak dan remaja sejak dini. Karena itu, sekolah harus membuka ruang untuk curhat bagi anak dan remaja.

Rousseau pernah mengingatkan kita untuk jangan menyerahkan anak-anak kita pada masyarakat luas, karena masyarakat itu siap mengkontaminasi anak-anak kita, menggerogoti kecenderungan alamiah anak kita yang bebas (J.J Rousseau, Emile (trans Barbara Foxley, 7-9). Waspadalah pada “massa”! 

Pengalaman bergaul dengan remaja pinggiran & sekolah, saat bekerja bersama PKBI DKI Jakarta
Mei 2008